AL-Farabi
1.
Riwayat Hidup Singkat
Nama lengkapnya adalah
Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin
Tarkhan bin Auzalagh. Lahir pada 870
M di desa Wasij, bagian
dari Farab, yang termasuk bagian dari wilayah Mā Warā`a al-Nahr (Transoxiana)
sekarang berada di wilayah Uzbekistan. Al-Farabi meninggal di Damaskus, ibukota
Suriah pada umur sekitar 80 tahun, tepatnya pada 950 M. Di negeri Barat, al-Farabi
dikenal dengan nama Avennaser atau Alfarabius. Ayahnya berasal dari Persia
(Suriah) yang pernah menjabat sebagai panglima perang Turki. Sedang ibunya
berasal dari Turki.
Al-Farabi adalah seorang
komentator filsafat Yunani yang ulung di dunia Islam. Meskipun kemungkinan
besar ia tidak bisa berbahasa Yunani, ia mengenal para filusuf Yunani seperti
Plato, Aristoteles, dan Plotinus dengan baik. AL-Farabi dikenal dengan sebutan
“guru kedua” setelah Aristoteles, karena kemampuanya dalam memahami Aristoteles
yang dikenal sebagai guru pertama dalam Ilmu Filsafat. Kemungkinan lain adalah
AL-Farabi seorang Syia’ah Imamiyah
(syi’ah Imamiyah adalah salah satu aliran dalam islam dimana yang menjadi dasar
aqidah mereka adalah soal imam) yang bersal dari Turki.
Pada akhir tahun 942, ia pindah
ke Damaskus karena situasi politik Bagdad yang memburuk. Dia sempat tinggal di
sana selama dua tahun dimana waktunya siang hari digunakan untuk bekerja
sebagai penjaga kebun dan malam hari dihabiskan untuk membaca dan menulis
karya-karya filsafat. Dengan alasan yang sama, ia pindah ke Mesir untuk pada
akhirnya kembali lagi ke Damaskus pada tahun 949. Selama masa tinggal di
Damaskus yang kedua ini al-Farabi mendapat perlindungan dari putra mahkota penguasa
baru Siria, Saif al-Daulah (w. 967). Dalam perjumpaan pertamanya, Saif
al-Daulah sangat terkesan dengan al-Farabi karena kemampuannya dalam bidang
filsafat, bakat musiknya serta penguasaannya atas berbagai bahasa. Kehidupan
sufi asketik yang dijalaninya membuatnya ia tetap berkehidupan sederhana dengan
pikiran dan waktu yang tetap tercurah untuk karir filsafatnya. Sebelum dia
tenggelam dalam karir filsafatnya, terlebih dahulu dia menjadi seorang qadhi.
Setelah melepaskan jabatan qadhinya, al-Farabi kemudian berangkat ke Merv untuk
mendalami logika Aristotelian dan filsafat. Guru utama al-Farabi adalah Yuhanna
ibn Hailan.
Al-Farabi berkenalan dengan
pemikiran-pemikiran dari para ahli Filsafat Yunani seperti Plato dan
Aristoteles dan mencoba mengkombinasikan pemikiran-pemikiran Yunani kuno dengan
pemikiran Islam untuk menciptakan sebuah Negara pemerintahan yang ideal.
2.
Karya-karyanya
1.
Tahsilu As-Sa’adat (Mencari
kebahagiaan/mewujudkan kebahagiaan).
Kebahagiaan tujuan
hiidup manusia yang tidak dapat dipungkiri semua mahluk hidup tanpa terkecuali
manusia yang mempunyai peranan penting dalam memberikan kontribusi dalam
perkembangan ilmu pengetahuan. Kebahagiaan yang dituju oleh filsafat dan moral
dibuktikan dengan teori dan praktik serta diusahakan manusia melalui studi dan
tingkah lakunya. Al Farabi maengatakan:
“Kebahagiaan adalah
jika jiwa manusia menjadi sempurna didalam wujud dimana ia tidak membutuhkan
dalam eksitensinya kepada suatu materi. Jiwa yang sempurna dengan adanya ketentraman
yang ada di dalamnya kebutuhan-kebutuhan itu terpenuhi secara personal dalam
hal material dan spiritual, kebahagiaan tidak bisa diukur dengan apapun dan
siapapun, apa dan siapa dititik beratkan pada kebutuhan masing-masing
manusia itu sendiri. Untuk memperoleh kebahagiaan memiliki cara yang berbeda
dalam mencapainnya, Al-Farabi tidak cukup hanya dengan studi teoritis saja,
melainkan juga terjun lansung berjuang agar dapat merasakan kebahagiaan.
Dengan demikian untuk
mencapai kebahagian yang sesunngguhnya tidaklah semua orang dapat meraihnya.
Karena kebahagiaan itu tidak dapat dicapai kecuali oleh jiwa-jiwa yang bbersih
dan suci yang mampu menembus tabir-tabir gaib dan naik ke alam cahaya dan
keindahan.
2.
Fususu Al Taram(Hakikat kebenaran).
Al-Farabi bukanlah
merupakan tasawuf spiritualsemata yang hanya berlandaskan sikap menerangi jism
dan menjauhkan dari segala kelezatan guna mensucikan jiwa dan meningkat menuju
derajat-derajat kesempurnaan, tetapi tasawufnya adalah tasawuf yang berdasarkan
pada studi.
3.
As Syiayah(Ilmu politik).
Dalam pembahasan ini
As-Syiiasyah berasal dari kata sasa. Kata ini dalam kamus lisanul
Arab berarti mengatur, mengurus dan memerintah. Syiasyah bisa juga
berarti pemerintahan dan politiik, atau membuat kebijaksanaan.
Al-Farabi berpendapat
ilmu politik adalah ilmu yang meneliti berbagai bentuk tindakan, cara,
hidup, watak, disposisi positif dan ahlak. Suatu tindakan, cara hidup sebagai
kemantapan. Ada dua macam problem politik:
1.
Pemerintah atas dasar penegakkan terhadap tindakan-tindakan
yang sadar, cara hidup, disposisi positif.
2. Pemerintah atas dasar penegakkan terhadap tindakan-tindakan
dan watak-watak dalam rangka mencapai sesuatu yang diperkirakan mendapat suatu
kebahagiaan.
4.
Fi
Ma’ani Al Aqli.(tentang akal).
bahwa akal, menurut Al-Farabi, ada tiga jenis. Pertama Allah sebagai akal maksudnya Pencipta dan Esa
semutlak-mutlaknya, maha sempurna dan tidak mengandung pluralitas. Yang kedua, yakni akal-akal sebagai
emanasi, akal yang pertama esa pada dzatnya, tetapi dalam dirinya mengandung
pada dirinya mengandung keanekaan potensial, ia diciptakan oleh Allah sebagai
akal, maka objek ta’aqul-Nya (juga
akal-akal lainnya) tidaklah lagi satu tetapi sudah dua: Allah sebagi wajib al wujud dan dirinya sebagai al-mu’min al-wujud.
5.
Al Ta’liqat.
Menurut Ibnu Sina
tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan (sa’adat) kebahagian
dicapai secara bertingkat, sesuai dengan tingkat pendidikan yang
dikemukakannya, yaitu kebahagiaan pribadi, kebahagiaan rumah tangga,
kebahagiaan masyarakat, kebahagian manusia secara menyeluruh dan kebahagian
akhir adalah kebahagian manusia di hari akhirat. Kebahagian manusia secara
menyeluruh menurut Ibnu Sina hanya akan mungkin dicapai melalui risalah
kenabian.
6.
Al-Jami’u baina
Ra’yai Al-Hakimain Afaalatoni Al-Habiy wa Aristho-thails atau disebut
jugaRekonsisliasi Al-Farabi(penggabungan pendapat antara Plato dan Aristoteles.
Pemikiran filsafat
yang bertolak belakang itu dapat disatukan oleh pemikiran rekonsiliasi,
Al-Farabi berkeyakinan bahwa aliran filsafat yang bermacam-macam itu hakikatnya
hanya satu, yakni sama-sama mencari kebenaran yang satu, karena tujuan filsafat
ialah pemikirankebenaran sedangkan kebenaran itu hanya satu. Dengan pemikiran
filsafat rekonsiliasi Al-Farabi yang menitik beratkan tujuan apa yang dicari,
untuk apa yang dicari tipislah perbedaan, memang pada dasarnya perbedaan itu
soal biasa karena dengan perbedaan manusia diperkaya dengan ilmu pengetahuan
tetapi jangan perbedaan itu dijadikan munculnya permasalahan baru dan
perpecahan diantara manusia yang mempunyai kepentingan dengan masalah itu.
Cara Al-Farabi
menyatukan kedua filosof Plato dan Aristoteles ialah dengan memajukan pemikiran
masing-masing filosof yang cocok dengan pemikirannya sebagai seperti dalam
membicarakan ide yang menjadikan bahan polemik antara plato dan Aristoteles.
3. Pemikiran
A.
Politik
Menurut Al-Farabi
manusia merupakan warga negara yang merupakan salah
satu syarat terbentuknya negara. Oleh karena manusia tidak dapat hidup sendiri
dan selalu membutuhkan bantuan orang lain, maka manusia menjalin
hubungan-hubungan (asosiasi). Lalu dalam proses yang panjang, dan pada akhirnya
terbentuklah suatu Negara menurut Al-Farabi, Negara atau kota merupakan suatu
kesatuan masyaraka yang paling mandiri dan paling mampu memenuhi kebutuhan
hidup, yaitu: sandang, pangan, papan dan keamanan serta mampu mengatur
ketertiban masyarakat. Suatu Negara yang warganya sudah mandiri dan bertujuan
untuk mencapai kebahagiaan yang nyata, yitu adalah Negara Utama.
Negara Utama
dianalogikan seperti tubuh manusia yang sehat dan utama, karena secara alami, pengaturan organ-organ dalam
tubuh manusia bersifat hierarkis dan sempurna.. Ada tiga klasifikasi utama:
1.
Jantung
2.
Otak
3.
Organ
Dengan prinsip yang
sama, seorang pemimpin negara merupakan bagian yang paling penting dan paling
sempurna di dalam suatu negara. Menurut Al Farabi, pemimpin adalah seorang yang
disebutnya sebagai filsuf yang berkarakter Nabi yakni orang yang mempunyai
kemampuan fisik dan jiwa (rasionalitas dan spiritualitas)
Disebutkan adanya
pemimpin generasi pertama dengan segala kesempurnaannya (Imam) dan karena sangat
sulit untuk ditemukan (keberadaannya) maka generasi kedua atau generasi selanjutnya
sudah cukup, yang disebut sebagai (Ra’is) atau pemimpin
golongan kedua. Selanjutnya al-Farabi mengingatkan bahwa walaupun kualitas
lainnya sudah terpenuhi , namun kalau kualitas seorang filsufnya tidak terpenuhi atau
tidak ambil bagian dalam suatu pemerintahan, maka Negara Utama tersebut bagai
“kerajaan tanpa seorang Raja”. Oleh karena itu, Negara dapat berada diambang
kehancuran.
Mengenai kepemimpinan.
Al-Farabi mengkategorikan orang menjadi tiga pemimpin tertinggi, orang yang
memimpin dan dipimpin, dan orang yang sepenuhnya dipimpin. Dan kota utama dipimpin
oleh seorang pemimpin tertinggi. Pemimpin macam itu adalah orang yang , jauh hanya
dapat dimiliki oleh seseorang dengan tingkatan Nabi.
B.
Kenabian
Dalam islam ada yang
namanya malaikat, dan dalam istilah filosof malaikat itu adalah “akal
kesepuluh”. Filosof-filosof menurutnya mengetahui hakikat-hakikat karena dapat
berkomunikasi dengan akal sepuluh. Begitupun nabi atau Rosul demikian pula
dapat menerima wahyu karena mempunyai kesanggupan untuk mengadakan komunikasi
dengan akal sepuluh. Namun, dalam kedudukan menurut Al-Farabi Nabi dan Rosul
itu lebih tinggi kedudukanya daripada filosof di karenakan Nabi dan Rosul itu
memiliki kemampuan komunikasi dengan akal sepuluh terjadi karena atas pilihan
atau pemberian Tuhan. Sedangkan filosof dapat mengadakan komunikasi itu atas
usaha sendiri yaitu dengan latihan (riyadloh dalam tasawuf).
Al-Farabi mengatakan,
pengetahuan filsafat yang dimiliki filosof dan wahyu yang diterima Nabi tidak
saling bertentangan karena pengetahuannya diperoleh dari sumber yang sama yaitu
akal sepuluh.
C.
Tuhan
Menurut Al-Farabi, Tuhan itu
memiliki sifat Maha Satu, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari pengertian
banyak, maha sempurna dan tidak memerlukan kepada apapun dan siapapun. Menurut
beliau alam materi yang banyak ini terjadi dengan cara emanasi ataupancaran
yakni Tuhan sebagai wujud pertama dengan mengalami tahap-tahap pemancaranitu,
dimana setiap tahap pemancaran terjadilah suatu alam materi tertentu, demikian
seterusnya sehingga sempurnalah kejadian alam materi. Al Farabi memberi 3
istilah yang disandarkan pada Tuhan:
1. al-'Aql (akal) >> sebagai zat atau hakikat dari akal-akal
2. al-'Aqil (yang berakal) >> sebagai subyek lahirnya akal-akal
3. al-Ma'qul (yang menjadi sasaran akal) >> sebagai obyek yang dituju
oleh akal-akal
Sistematika teori emanasi al-Farabi
adalah sebagai berikut:
1. Tuhan sebagai al-'Aql dan
sekaligus Wujud I. Tuhan sebagai al-'Aql (WUjud I) ini berpikir tentang
diri-Nya sehingga melahirkan Wujud II yang substansinya adalah Akal I -->
al-Sama' al-Awwal (langit pertama)
2. Wujud II berpikir tentang Wujud I sehingga melahirkan Wujud III yang
substansinya Akal II --> al-Kawakib (bintang-bintang)
3. Wujud III berpikir tentang Wujud I sehingga melahirkan Wujud IV yang
substansinya Akal III --> Saturnus
4. Wujud IV berpikir tentang Wujud I sehingga melahirkan Wujud V yang
substansinya Akal IV --> Jupiter
5. Wujud V berpikir tentang Wujud I sehingga melahirkan Wujud VI yang
sunstansinya Akal V --> Mars
6. Wujud VI berpikir tentang Wujud I sehingga melahirkan Wujud VII yang
substansinya Akal VI --> Matahari
7. Wujud VII berpikir tentang Wujud I sehingga melahirkan Wujud VIII yang
substansinya Akal VII --> Venus
8. Wujud VIII berpikir tentang Wujud I sehingga melahirkan Wujud IX yang
substansinya Akal VIII --> Mercury
9. Wujud IX berpikir tentang Wujud I sehingga melahirkan Wujud X yang
substansinya Akal IX --> Bulan
10. Wujud X berpikir tentang Wujud I sehingga melahirkan Wujud XI yang
substansinya Akal X --> Bumi, ruh, materi pertama (Hyle) yang menjadi dasar
terbentuknya bumi: api, udara, air, dan tanah. Akal X ini disebut juga al-'aql
al-fa'al (akal aktif) yang biasa disebut Jibril yang berperan sebagai wahib
al-suwar (pemberi bentuk, form).
D.
Jiwa
Menurutnya, jiwa
berasal dari pancaran Akal X (Jibril). Hubungan antara jiwa dan jasad hanya
bersifat accident ('ardhiyyah), artinya ketika fisik binasa jiwa tidak ikut
binasa karena substansinya berbeda. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nathiqah
(jiwa yang berpikir) yang berasal dari alam Illahi sedang jasad berasal dari
alam khalq yang berbentuk, berkadar, bergerak, dan berdimensi.
Jiwa manusia, menurut Al Farabi,
memiliki 3 daya:
1. Daya gerak (quwwah muharrikah), berupa makan (ghadiyah, nutrition);
memelihara (murabbiyah, preservation); dan berkembang biak (muwallidah,
reproduction)
2. Daya mengetahui (quwwah mudrikah), berupa merasa (hassah, sensation) dan
imajinasi (mutakhayyilah, imagination)
3. Daya berpikir (al-quwwah al-nathiqah, intellectual), berupa akal praktis
('aql 'amali) dan akal teoritis ('aql nazhari). 'Aql nazhari terbagi pada 3
tingkatan:
a. al-'aql al-hayulani (akal
potensial, material intellect) yang mempunyai 'potensi berpikir' dalam arti
melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk (mahiyah) dari materinya
b. al-'aql bi al-fi'l (akal aktual, actual intellect) yang dapat
melepaskan arti-arti (mahiyah) dari materinya dan arti-arti itu telah mempunyai
wujud dalam akal yang sebenarnya (aktual) bukan lagi dalam bentuk potensial
c. al-'aql al-mustafad
(akal pemerolehan, acquired intellect) yang sudah mampu menangkap bentuk murni
(pure form) tanpa terikat pada materinya karena keberadaannya (pure form) tidak
pernah menempati materi. al-'aql al-mustafad bisa berkomunikasi dengan Akal X
(Jibril) dan mampu menangkap pengetahuan yang dipancarkan oleh 'akal aktif'
('aql fa'al). Dan 'aql fa'al menjadi mediasi yang bisa mengangkat akal
potensial naik menjadi akal aktual, juga bisa mengangkat akal aktual naik
menjadi akal mustafad. Hubungan anatar 'aql al-fa'al dan 'aql mustafad ibarat
mata dan matahari.
1.
Daftar Pustaka
5.
http://assholeh-nursoleh.blogspot.com/2011/03/pemikiran-al-farabi-dan-ibnu-sina.html