Devinisi manajemen
Kata
Manajemen berasal dari bahasa
Perancis kuno ménagement, yang memiliki arti "seni melaksanakan dan
mengatur."Manajemen belum memiliki definisi yang mapan dan diterima secara
universal. Mary
Parker Follet, misalnya, mendefinisikan manajemen sebagai seni menyelesaikan
pekerjaan melalui orang lain. Definisi ini berarti bahwa seorang manajer
bertugas mengatur dan mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan organisasi. Ricky W. Griffin
mendefinisikan manajemen sebagai sebuah proses perencanaan, pengorganisasian,
pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai sasaran secara
efektif dan efesien. Efektif berarti bahwa tujuan dapat dicapai sesuai dengan
perencanaan, sementara efisien berarti bahwa tugas yang ada dilaksanakan secara
benar, terorganisir, dan sesuai dengan jadwal.
Banyak
kesulitan yang terjadi dalam melacak sejarah manajemen, namun diketahui bahwa
ilmu manajemen telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Hal ini dibuktikan
dengan adanya piramida
di Mesir. Piramida tersebut dibangun
oleh lebih dari 100.000 orang selama 20 tahun.
Devinisi kepemimpinan
Kepemimpinan atau leadership merupakan ilmu terapan dari ilmu-ilmu social, sebab
prinsip-prinsip dan rumusannya diharapkan dapat mendatangkan manfaat bagi
kesejahteraan manusia (Moejiono, 2002). Ada banyak pengertian yang dikemukakan
oleh para pakar menurut sudut pandang masing-masing, definisi-definisi tersebut
menunjukkan adanya beberapa kesamaan.
Menurut Tead Terry Hoyt (dalam Kartono, 2003) Pengertian Kepemimpinan yaitu
kegiatan atau seni mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang didasarkan
pada kemampuan orang tersebut untuk membimbing orang lain dalam mencapai
tujuan-tujuan yang diinginkan kelompok. Menurut Young (dalam Kartono, 2003) Pengertian Kepemimpinan yaitu
bentuk dominasi yang didasari atas kemampuan pribadi yang sanggup mendorong
atau mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu yang berdasarkan penerimaan oleh
kelompoknya, dan memiliki keahlian khusus yang tepat bagi situasi yang khusus. Moejiono (2002) memandang bahwa leadership tersebut sebenarnya
sebagai akibat pengaruh satu arah, karena pemimpin mungkin memiliki kualitas-kualitas tertentu yang
membedakan dirinya dengan pengikutnya. Para ahli teori sukarela (compliance induction theorist)
cenderung memandang leadership sebagai pemaksaan
atau pendesakan pengaruh secara tidak langsung dan sebagai sarana untuk
membentuk kelompok sesuai dengan keinginan pemimpin (Moejiono, 2002).
Dari beberapa
definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepemimpnan merupakan kemampuan
mempengaruhi orang lain, bawahan atau kelompok, kemampuan mengarahkan tingkah
laku bawahan atau kelompok, memiliki kemampuan atau keahlian khusus dalam
bidang yang diinginkan oleh kelompoknya, untuk mencapai tujuan organisasi atau
kelompok.
Teori
kepemimpinan contingency fiedler (Matching leaders and Tasks)
Fiddler
mendefinisikan efektivitas pemimpin dalam hal performa grup dalam mencapai
tujuannya. Fiddler membagi tipe pemimpin menjadi 2: yang berorientasi pada
tugas dan yang berorientasi pada maintenance. Dari observasi ini ditemukan
fakta bahwa tidak ada korelasi konsisten antara efektifitas grup dan perilaku
kepemimpinan.
Pemimpin yang
berorientasi pada tugas akan efektif pada 2 set kondisi.
- Pada set yang pertama, pemimpin ini sangat memiliki hubungan yang baik dengan anggotanya, tugas yang didelegasikan pada anggota sangat terstruktur dengan baik, dan memiliki posisi yang tinggi dengan otoritas yang tinggi juga. Pada keadaan ini, grup sangat termotivasi melakukan tugasnya dan bersedia melakukan tugas yang diberikan dengan sebaik-baiknya.
- Pada set yang kedua, pemimpin ini tidak memiliki hubungan yang baik dengan anggotanya, tugas yang diberikan tidak jelas, dan memiliki posisi dan otoritas yang rendah. Dalam kondisi semacam ini, pemimpin mempunyai kemungkinan untuk mengambil alih tanggung jawab dalam mengambil keputusan, dan mengarahkan anggotanya.
Kepemimpinan
tidak akan terjadi dalam satu kevakuman sosial atau lingkungan. Para pemimpin
mencoba melakukan pengaruhnya kepada anggota kelompok dalam kaitannya dengan
situasi2 yg spesifik.Karena situasi dapat sangat bervariasi sepanjang dimensi
yang berbeda, oleh karenanya hanya masuk akal untuk memperkirakan bahwa tidak
ada satu gaya atau pendekatan kepemimpinan yang akan selalu terbaik. Namun,
sebagaimana telah kita pahami bahwa strategi yg paling efektif mungkin akan
bervariasi dari satu situasi ke situasi lainnya. Penerimaan kenyataan dasar ini melandasi teori tentang efektifitas pemimpin
yang dikembangkan oleh Fiedler, yang menerangkan teorinya sebagai Contingency
Approach.Asumsi sentral teori ini adalah bahwa kontribusi seorang pemimpin
kepada kesuksesan kinerja oleh kelompoknya adalah ditentukan oleh kedua hal
yakni karakteristik pemimpin dan dan oleh berbagai variasi kondisi dan situasi.
Untuk dapat memahami secara lengkap efektifitas pemimpin, kedua hal tsb harus
dipertimbangkan.
Fiedler
memprediksi bahwa para pemimpin dengan Low LPC yakni mereka yang mengutamakan
orientasi pada tugas, akan lebih efektip dibanding para pemimpin yang High LPC,
yakni mereka yang mengutamakan orientasi kepada orang/hubungan baik dengan
orang apabila kontrol situasinya sangat rendah ataupun sangat tinggi. Sebaliknya para pemimpin dengan High LPC akan lebih
efektif dibanding pemimpin dengan Low LPC apabila kontrol situasinya moderat.
Model
kepemimpinan normative menurut Vroom dan Yetton
Teori
kepemimpinan Vroom&Yetton ini merupakan salah satu teori contingency. Teori
ini dikembangkan oleh Vroom&Yetton (1973) dan disebut juga sebagai model
normatif tentang kepemimpinan, karena mengarah kepada pemberian suatu
rekomendasi tentang gaya kepemimpinan yang sebaiknya digunakan dalam situasi
tertentu, yang berfokus pada tingkat partisipasi yang diperbolehkan oleh
pemimpin dalam pengambilan keputusan dan seleksi pendekatan yang akan
memaksimalkan manfaat yang akan didapat kelompok dan pada waktu yang bersamaan,
meminimalisasi gangguan pencapaian tujuan kelompok. Model yang menjelaskan
bagaimana seorang pemimpin harus memimpin dalam berbagai situasi. Model ini
menunjukan bahwa tidak ada corak kepemimpinan tunggal yg dapat diterapkan pada
semua situasi.
Pada
hakikatnya, model ini dapat digunakan sebagai alat untuk:
a. Membantu mengenali berbagai jenis situasi pemecahan persoalan secara berkelompok (group problem-solving situations)
b. Menyarankan gaya-gaya kepemimpinan mana yang dianggap layak untuk setiap situasi. Ada tiga parameter yang penting yaitu: (1) klasifikasi gaya kepemimpinan; (2) kriteria efektivitas keputusan; (3) kriteria penemukenalan jenis situasi pemecahan persoalan.
Lima pola umum Gaya Kepemimpinan
dalam Pengambilan Keputusan (Vroom & Yetton, 1973) :
1. Autocratic I: membuat keputusan
dengan menggunakan informasi yang saat ini terdapat pada pemimpin.
2. Autocratic II: membuat keputusan dengan menggunakan informasi yang terdapat pada seluruh anggota kelompok tanpa terlebih dahulu menginformasikan tujuan dari penyampaian informasi yang mereka berikan.
3. Consultative I: berbagi akan masalah yang ada dengan individu yang relevan, mengetahui ide-ide dan saran mereka tanpa melibatkan mereka ke dalam kelompok; lalu membuat keputusan.
4. Consultative II: berbagi masalah dengan kelompok, mendapatkan ide-ide dan saran mereka saat diskusi kelompok berlangsung, dan kemudian membuat keputusan.
5. Group II: berbagi masalah yang ada dengan kelompok, mengepalai diskusi kelompok, serta menerima dan menerapkan keputusan apapun yang dibuat oleh kelompok.
2. Autocratic II: membuat keputusan dengan menggunakan informasi yang terdapat pada seluruh anggota kelompok tanpa terlebih dahulu menginformasikan tujuan dari penyampaian informasi yang mereka berikan.
3. Consultative I: berbagi akan masalah yang ada dengan individu yang relevan, mengetahui ide-ide dan saran mereka tanpa melibatkan mereka ke dalam kelompok; lalu membuat keputusan.
4. Consultative II: berbagi masalah dengan kelompok, mendapatkan ide-ide dan saran mereka saat diskusi kelompok berlangsung, dan kemudian membuat keputusan.
5. Group II: berbagi masalah yang ada dengan kelompok, mengepalai diskusi kelompok, serta menerima dan menerapkan keputusan apapun yang dibuat oleh kelompok.
Path
Goal Theory dalam kepemimpinan
Path goal theory leadership adalah sebuah teori kepemimpinan yang dikembangkan oleh House dalam
Robbibs dan Judge (2009) yang menyatakan bahwa terdapat
dua variabel kontinjensi yang menghubungkan prilaku kepemimpinan
dengan hasil berupa kepuasan kerja dan kinerja yaitu variabel- variabel dalam
lingkungan yang berada di luar kendali karyawan (struktur tugas, sistem otoritas formal dan kelompok kerja) serta
variabel variabel yang merupakan bagian dari karakteristik personal karyawan
(locus of control, pengalaman dan kemampuan yang dimiliki).
Teori path-goal
menjelaskan
dampak perilaku pemimpin pada motivasi bawahan, kepuasan dan kinerjanya (Luthans, 2006). Robbins dan Judge (2009) menyatakan bahwa inti dari path
goal theory adalah bahwa
merupakan tugas pemimpin
untuk memberikan informasi dan dukungan yang dibutuhkan kepada para pengikut agar mereka bisa mencapai berbagai
tujuan. Istilah path goal berasal dari keyakinan bahwa para pemimpin yang
efektif semestinya bisa menunjukkan jalan guna membantu pengikut-pengikutnya mendapatkan
hal-hal
yang dibutuhkan demi pencapaian tujuan kerja dan
mempermudah perjalanan serta
menghilangkan berbagai rintangannya.
REFRENSI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar