Jumat, 26 April 2013

Fenomena social


Waspadai Pemanfaatan Sentimen Agama







Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Prof. Dr. H. Machasin MA menyatakan, dewasa ini kerap muncul konflik yang pada awalnya sebagai dampak ketimpangan sosial dan ketidakadilan ekonomi sering kali memanfaatkan sentimen keagamaan.

Pernyataan Machasin tersebut disampaikan ketika membacakan sambutan Menteri Agama Suryadharma Ali pada pembukaan simposium “Peran Strategis Pendidikan Agama dalam Pembangunan Budaya Damai” di Hotel Salak, Bogor, Senin malam (10/9), yang dihadiri peserta dari kawasan Asia Tenggara dan Australia. Simposium itu sendiri berlangsung 10-12 September 2012, yang dinilai kalangan peserta sangat tepat berkaitan dengan maraknya aksi kekerasan atas nama agama dan lahirnya kelompok-kelompok garis keras.

Namun Machasin menolak bahwa kegiatan tersebut diselenggarakan berkait maraknya aksi kekerasan dewasa ini. Sebab, simposium itu dinilai penting untuk membahas pengembangan budaya damai dan peran pendidikan agama yang menjadi isu internasional sejak dua dekade terakhir ini.

Budaya damai, kata dia, berdasarkan resolusi PBB tahun 1998, adalah suatu pendekatan untuk mencegah konflik dan kekerasan dan sebagai alternatif dari budaya perang dan kekerasan, yang didasarkan atas: pendidikan perdamaian, promosi pembangunan sosial dan ekonomi berkelanjutan, penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, kesetaraan jender, partisipasi ekonomi, toleransi, kebebasan informasi, dan pengurangan senjata. Pemanfaatan sentimen agama, lanjut dia, bukan satu-satunya sumber konflik. Dewasa ini terdapat sejumlah permasalahan dalam bidang pembangunan agama. Antara lain, kesenjangan antar-nilai ajaran agama dengan pemahaman para pemeluknya. Tingginya semangat keberagaman masyarakat pada satu sisi belum diimbangi dengan pemahaman yang memadai. Kesenjangan antar-pengetahuan agama dan pengalamannya yang tercermin dalam sikap dan perilaku, katanya.

Agama sebagai daya tangkal terhadap kecenderungan manusia berperilaku menyimpang belum cukup optimal. Pemahaman agama masih belum mampu membangun kesadaran, menggugah nurani dan spiritual individu dalam perilaku keseharian. Ironisnya lagi, kata dia, fenomena kesenjangan keagamaan juga terjadi di kalangan peserta didik, nilai-nilai agama belum menjadi landasan moral, etika dan perilaku keseharian, masih terjadi tawuran antar-pelajar, penyalahgunaan narkoba dan sederet kesenjangan lainnya.

Sementara itu, ia menjelaskan, harmonisasi kehidupan beragama di dalam masyarakat Indonesia belum sepenuhnya dapat diwujudkan sebagai akibat munculnya ketegangan sosial yang sering melahirkan konflik intern dan antar-umat beragama. Termasuk konflik yang awalnya sebagai ketimpangan sosial seringkali memanfaatkan sentimen agama.

Hubungan dengan teori psikologi

Keseragaman dalam Teori Belajar Behavioristik

Tanpa kita sadari sejak dini anak-anak telah ditanamkan keseragaman, tidak mau menerima perbedaan dan hal inilah yang sampai saat ini mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia. Kesadaran untuk menerima perbedaan masih terasa sangat jauh dari kehidupan bangsa Indonesia. Karena paradigma yang ada adalah anak diajarkan untuk lebih mengutamakan keseragaman daripada menerima perbedaan yang ada. Ini tidak dapat sepenuhnya disalahkan, karena selama ini yang berkembang di Indonesia adalah teori belajar behavioristik yang lebih mengutamakan keseragaman, dengan hanya melihat input yang berupa stimulus dan keluaran yang berupa respon.

Karena menurut Watson sebagai salah satu orang yang mengusung teori ini, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon namun stimulus dan respon tersebut harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar